Jl.Tanjung Pasir No. 02 Teluknaga, Tangerang eddystrada@gmail.com 0812-9802-2717 skypeid

Friday, May 9, 2014

Rakyat yang Disalibkan

Romo Benny
“DARI jurang yang paling dalam, kami mengeluh pada-Mu Ya Allah. Mengapa Engkau meninggalkan kami dalam ketidakberdayaan ini?”Begitu doa rakyat miskin di negeri yang subur ini.

Jeritan ketidakberdayaan kaum tertindas menghiasi berbagai ranah publik. Buruh sering tidak dianggap sebagai manusia walaupun jelas-jelas manusia. Kebijakan perusahaan dan pemerintah kerap tidak memperhitungkan segi-segi kemanusiaannya.

Buruh identik dengan mesin produksi, dan sering dianggap hanya sebagai sapi perahan. Para petani tidak mendapatkan dukungan nyata. Sawah ladangnya terancam punah, dialihfungsikan.

Mereka terus dikecewakan oleh hantu yang bernama “elite politik dan oligarki”. Rakyat sering menggunjingkan mereka, dan katanya satu-satunya pekerjaan yang bisa membuat mereka senang dan kaya adalah mengorup hak kaum rakyat.

Demi kepentingan kekuasaan, rakyat miskin dibuat tak berdaya. Mereka selalu dikalahkan dengan sistem yang penuh dengan kelicikan dan akal busuk.

Politik akal busuk memerdayakan masyarakat marjinal yang hidup bergantung pada kebaikan orang lain. Perubahan tak pernah menyentuh mereka karena kaum miskin dianggap sebagai orang tak punya daya kuasa untuk menjadi dirinya sendiri.

Kaum miskin tetap tersalib oleh struktur pasar yang tentu tak mengenal belas kasih. Dia tersalib karena kaum miskin hanya dijadikan tumbal dalam proses pembangunan. Tenaganya dieksploitasi, hatinya dipenuhi dengan bermacam-macam janji perubahan oleh penguasa, tapi sampai sekarang belum ada realisasinya.

Nasib kaum miskin (nelayan, petani, buruh, dkk) tersalib akibat kebijakan yang pro-orang kaya kroni kekuasaan. Mereka tak mampu lagi hidup layak berkecukupan. Hidup mereka menjadi berat karena harga kebutuhan sehari-hari menjadi naik luar biasa, dan jangan berpikir pendapatan mereka juga akan bertambah. Hidup mereka semakin susah karena para pemangku zaman yang tidak mau berpihak pada mereka.

Terkadang mereka berpikir buat apa bekerja keras sesusah ini, toh juga tak menghasilkan perubahan yang berarti. Kaum miskin tetaplah pihak yang diakalbulusi oleh dua raksasa besar, yakni poros negara dan poros badan publik. Keduanya sering licik dengan mengeluarkan kebijakan yang orientasinya hanya melindungi kapital yang korup daripada menyejahterakan nasib wong cilik.

Kaum miskin diakalbulusi oleh kebijakan yang orientasinya hanya menguntungkan kroni penguasa. Mereka ditipu bahwa sebuah kebijakan seolah-olah logis, tetapi di lain pihak mematikan daya hidupnya. Kroni kapitalisme yang ada sekarang ini, di negeri ini, ketika menyatu dengan kekuatan pengambil kebijakan, tidak pernah berpihak pada mereka.

Para pemilik modal berkuasa karena mereka mampu membeli para birokrat. Birokrat di negeri ini hanya menjadi perpanjangan tangan kaum kroni kapitalis yang orientasinya semata-mata demi mencari untung berambisi lebih kaya yang tidak ada habisnya.

Elite politik sendiri sering mengaku tak kuasa menahan derasnya desakan kekuatan modal korup, yang ujung-ujungnya menjelma menjadi kuasa politik tersendiri. Persekutuan politik dan modal semacam inilah yang membuat tata kehidupan bangsa menjadi kehilangan keseimbangan.

Di sinilah kita menghadapi masalah besar: hilangnya keadaban publik. Keadaban publik hancur karena poros masyarakat sebagai pemilik kedaulatan politik, ekonomi, budaya tidak lagi berdaulat.

Kehidupan ini bergantung pada kekuatan modal yang menjelma dalam berbagai kekuatan media. Lewat media yang dikuasai para elite itulah perilaku kebangsaan dibentuk oleh pasar dengan mengedepankan hal-hal yang menyenangkan panca-indrawi belaka.

Situasi tersalib itulah membuat yang mata hati kehilangan kejernihan dalam melihat masalah mendasar yang ada saat ini. Elite politik telah buta dan tuli mendengar tangisan rakyatnya. Mereka pura-pura memiliki empati, tetapi sejatinya hanya bualan belaka. Derita kaum miskin tidak lagi menjadi pilihan mereka untuk benar-benar mau berbagi dengan kesusahan mereka.

Kaum Miskin Tersalib

Teriak-teriak para elite adalah membela kaum miskin, namun realitasnya kaum miskin dibiarkan tergusur dan dirinya sendiri yang dibela. Tak ada yang salah ketika gunjingan rakyat di warung kopi menyatakan bahwa janji elite selama ini hanya janji untuk pemanis belaka. Dan janji yang sekadar janji itulah yang membuat kaum miskin tersalib.

Ketersaliban itulah yang membuat cara berpikir, berperilaku, dan merasa menjadi reaktif dalam menghadapi masalah. Lalu, kehidupan kita hanya didasari oleh hal-hal yang menipu mata hati.

Hilangnya mata hati itulah yang menyilaukan kehadiran Tuhan di sekitar kita. Tuhan menjadi jauh dengan kita karena kaum miskin mereka salib. Tuhan menjadi jauh dengan kita karena kita tidak punya hati terhadap kaum miskin yang jumlahnya setiap saat bertambah ini.

Kita menjauh dari Tuhan karena tangan kita menindas kaum miskin.

Mata kita menyingkirkan kehadiran mereka. Bukankah Dia yang tersalib adalah Dia yang menderita karena dosa kita yang menyalibkan mereka yang tak berdaya? Dia tersalib karena dosa kita membiarkan kaum miskin kelaparan, kehausan, dan kehilangan tempat tinggal. Dia tersalib karena dosa kita yang membiarkan tanah mereka digusur dijadikan lapangan golf dan perumahan mewah.

Dia tersalib karena kita diam dengan persekutuan kaum pemodal dan elite politik. Dia yang tersalib ada bersama mereka yang berjuang untuk tegaknya keadilan di Bumi ini.

Paskah Sejati

Paskah sejati adalah kemauan untuk merenungkan dan kembali membela kaum tergusur. Itulah Paskah sejati yang ada dalam diri mereka yang haus akan keadilan. Haus akan kebenaran dan haus akan cinta kepada mereka yang miskin dan papa. Itulah Paskah yang membebaskan manusia dari kuasa kerakusan akan harta dan jabatan. Paskah berarti dia harus berani melewati lorong gelap seorang diri.

Paskah seharusnya membuat nilai-nilai kemanusiaan kita diperbarui dalam kehidupan ini. Mari kita rayakan Paskah bersama dengan merindukan datangnya Sang Fajar sejati. Para kaum tersalib di negeri ini harus bangkit menorehkan harapan baru berkehidupan.

Penulis adalah rohaniwan
Artikel ini telah diterbitkan di situs koranjakarta.com pada 16 April 2014.

0 komentar:

Post a Comment