Penjelasan Arah Dasar Pastoral 2011 - 2015 KAJ
Penjelasan Umum
Apa yang dimaksud dengan Arah Dasar
Pastoral?
Arah Dasar Pastoral KAJ adalah cita-cita yang
dituju oleh Gereja Katolik di wilayah Jakarta,
Tangerang dan Bekasi yang ingin bertumbuh dalam kesetiaan kepada Tuhan Yesus
Kristus dan kepada bangsa kita. Dengan adanya Arah Dasar itu, kita semua
didorong untuk merefleksikan situasi, kondisi dan tantangan khas kita bersama.
Atas dasar hasil refleksi itu kita merancang perkembangan kita dari tahun ke
tahun menuju keadaan yang dicita-citakan. Tentu saja, semua gerak bersama ini
kita lakukan dalam keyakinan teguh bahwa Roh Kuduslah yang mendorong dan
menuntun Gereja.
Bagaimana kita
menggunakan/memanfaatkan Arah Dasar Pastoral ini?
Pertama-tama, kita berusaha menangkap inspirasi
dari Arah Dasar Pastoral itu, terutama yang mengandung nilai-nilai yang terkait
dengan pelayanan kita. Kita mendapatkan “kesan dan pesan” ketika kita menemukan
bahwa pelayanan kita diteguhkan dan diarahkan oleh Arah Dasar itu. Ambil
contoh, paroki yang sedang menjalankan program beasiswa bagi anak miskin,
diteguhkan dengan ungkapan “keterlibatan pada masalah kemiskinan”. Komunitas
yang memperhatikan kerasulan keluarga, diarahkan untuk mengusahakan keluarga
sebagai paguyuban yang “menghayati dan meneruskan iman”. Maka dengan bantuan
Arah Dasar Pastoral, kita bisa merancang tahap-tahap perkembangan, agar segala
pelayanan kita berjalan menuju cita-cita yang dirumuskan dalam Arah Dasar
Pastoral itu. Kita memantau, mengorganisasikan dan mengevaluasi pelaksanaannya.
Dengan demikian, Arah Dasar Pastoral ini diharapkan menjadi inspirasi dasar
bagi dinamika seluruh Keuskupan menuju keadaan yang dicita-citakan, dari tahun
ke tahun, hingga saatnya kita merumuskan Arah Dasar Pastoral yang baru lagi.
Penjelasan Isi
Mengapa kita disebut “Umat Allah”?
Ungkapan “Umat Allah” dipilih karena mengandung
arti: umat yang mempunyai relasi dengan Allah, yang percaya padaNya, yang
berdoa padanya, yang meluhurkanNya. Umat beragama dan berkeyakinan lain pun
memiliki pemahaman yang senada, bahwa mereka mempunyai relasi dengan Allah.
Yang membuat kita khas adalah bahwa kita beriman pada Allah yang menjelma pada
diri Yesus Kristus dan terus-menerus membimbing kita dalam Roh Kudus. Maka ungkapan
“Umat Allah” menyiratkan niat inklusif kita, semangat dialog dan kesadaran
bahwa kita adalah sesama di hadapan Allah dan sesama sebangsa dan senegara.
Ungkapan “Umat Allah”, yang berziarah sepanjang zaman dalam dorongan dan
tuntunan Roh Kudus, bersama umat beragama lain, dinyatakan dalam Konstitusi
Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium Bab II, terutama artikel
14-17).
Mengapa ketiga pilar “iman – persaudaraan – pelayanan” menjadi ciri kita sebagai Umat Allah?
“Iman – persaudaraan – pelayanan” adalah tiga
kata yang ingin menampilkan iman kita secara utuh. Kita meyakini “bahwa iman
bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman
menjadi sempurna.” (Yak 2:22, TB). Yang kita maksudkan sebagai
perbuatan-perbuatan itu adalah persaudaraan sejati dan pelayanan kasih, yang
menjadi ungkapan iman. Dengan demikian iman itu tidak hanya menjadi urusan
personal dan internal umat, tetapi terwujud dalam perbuatan-perbuatan baik.
Dengan demikian, iman memberi makna (“signifikansi” dan “relevansi”) pada
keberadaan umat di tengah-tengah masyarakat dan bangsa.
Arah Dasar kita ini dilandasi spiritualitas Gembala Baik dan pelayanan yang murah hati? Apa yang dimaksudkan dengan spiritualitas Gembala Baik?
Kita bicara pertama-tama tentang spiritualitas
Gembala Baik. Dibimbing oleh Roh Kudus (itulah sebabnya disebut spiritualitas),
kita bertindak seturut teladan Yesus, Sang Gembala Baik. Gembala baik mengenal
dan dikenal domba-dombaNya (Yoh 1;14). Gembala Baik peduli pada dombanya yang
kesusahan dan tersesat (Bdk. Yeh 34:16). Semangat mengenali dan mempedulikan
kebutuhan umat amat dibutuhkan, karena pelayanan pastoral perlu berdasarkan
situasi dan kondisi konkret umat. Keuskupan kita terletak di kota besar dengan segala perjuangan hidup
umat yang perlu didalami, agar pelayanan Gereja cocok dengan kebutuhan umat.
Kecuali itu, spiritualitas Gembala Baik diperlukan, karena dalam kenyataan
banyak umat hidup dalam banyak tawaran dan kemungkinan yang bisa
“menghilangkan” iman. Entah karena mereka amat sibuk bekerja dan tidak bisa
masuk dalam dinamika paroki, entah karena mereka tidak menemukan relevansi
iman, entah karena mereka cenderung menjadi anonim, mereka semua senantiasa
perlu disapa, ditemukan dan tetap dijadikan bagian dari umat beriman.
Lalu, apa yang dimaksudkan dengan pelayanan yang murah hati?
Pelayanan menjadi murah hati, karena bersumber
pada Allah. “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah
hati.” (Luk 6:36, TB). Padanannya adalah pelayanan yang rendah hati, yang
dilakukan dalam kesadaran akan Allah Mahatinggi dan diarahkan pada
kemuliaanNya. Inilah yang membuat Santo Paulus bisa berkata: “Dengan segala
rendah hati aku melayani Tuhan.” (Kis 20:19, TB). Melayani dengan murah hati
dan rendah hati berarti melayani dengan ramah dan gembira, memikirkan bahwa
yang diutamakan adalah keselamatan orang yang dilayani, menyadari bahwa segala
peraturan dimaksudkan untuk membantu orang untuk menemukan keselamatan, membuat
yang dilayani disapa sebagai sesama. Semuanya ini hanya mungkin apabila kita
semua menyadari bahwa Roh Kuduslah yang mendorong kita dan memberi kekuatan
pada kita. Pelayanan yang murah hati membuat umat merasa kerasan dalam keluarga
Gereja.
Mengapa penggembalaan Gereja membutuhkan tatanan/pengelolaan?
Keuskupan kita terdiri dari 61 paroki dan amat
banyak komunitas kategorial, baik lintas paroki maupun yang terbatas di daerah
tertentu saja. Kita mempunyai pelbagai komisi/seksi dan komunitas kategorial
yang memperhatikan bidang dan sasaran pelayanan: katekese, liturgi, pendidikan,
kesehatan, karya sosial, media massa,
kaum muda, kerasulan awam, lansia. Ada
banyak pelayan pastoral, baik klerus maupun awam. Ada aset-aset yang tidak sedikit nilainya.
Nah, semuanya itu membutuhkan tata kelola yang baik dan bisa dipertanggungjawabkan.
Gereja adalah paguyuban umat beriman kepada Kristus. Memakai istilah St. Paulus, Gereja adalah“tubuh Kristus” (1Kor 10:16; Ef, 4:12). Apa yang diajarkan dan diteladankan Yesus Kristus, mendapatkan wujud dalam hal-hal yang melembaga, seperti gedung gereja, liturgi, organisasi, tingkah laku. Kendati kita yakin, peziarahan Gereja sepanjang zaman ada dalam bimbingan Roh Kudus, tidak bisa diandaikan bahwa pelbagai perangkat pendukung hidup Gereja itu tertata baik dengan sendirinya. Diperlukan tata kelola, agar pelbagai perangkat itu menjalankan fungsinya untuk melayani Tuhan (agar setia padaNya) dan untuk melayani umat (agar ada di jalan keselamatan). Tata kelola dengan demikian boleh kita katakan sebagai tata layan, karena memang maksud dasarnya agar kita semua menjadi komunitas yang melayani.
Mengapa tata-penggembalaan Gereja diberi dua sifat: partisipatif dan transformatif?
Kalau Gereja dikatakan sebagai paguyuban umat
beriman dan persekutuan dari macam-macam komunitas, maka perekatnya adalah
sifat partisipatif itu. Gereja adalah kita semua, yang mempunyai tugas,
tanggungjawab dan perutusan untuk saling berbagi. Itulah sebabnya paroki
membutuhkan dewan, yang terdiri dari partisipasi wakil-wakil umat (ketua
lingkungan, ketua seksi, ketua komunitas kategorial …). Itulah sebabnya
komunitas-komunitas kategorial membutuhkan kepengurusan.
Tentang sifat transformatif, kita memikirkan
mengenai semangat Gereja untuk terus-menerus memperbaharui diri (Ecclessia
semper reformanda). Roh Kudus membimbing dan membaharui Gereja dari waktu
ke waktu, agar peka dan terbuka pada tanda-tanda zaman, sambil tetap
mempertahankan kesetiaan kepada Kristus. Maka kecuali bahwa Gereja
menyumbangkan diri bagi peradaban dunia, Gereja pun siap untuk diubah oleh
karena kenyataan yang digelutinya berubah. Pelbagai perkembangan diamati dengan
kritis dan sepanjang meneguhkan iman akan Kristus, dijadikan bahan untuk
memperbaharui diri. Sifat transformatif ini menunjukkan sifat terbuka Gereja
pada perkembangan; rendah hati untuk selalu belajar dan mendengar; tidak
reaktif namun kreatif dan cerdik menghadapi tantangan.
Mengapa kita perlu menghayati dan meneruskan nilai-nilai Injili, ajaran dan tradisi Gereja Katolik ?
Setiap kali merayakan Ekaristi hari Minggu, kita
mengucapkan “Aku Percaya” (Credo). Mengapa demikian? Sebab, Gereja
meyakini rumusan iman seperti yang dirumuskan itu sepanjang zaman. Di balik
rumusan itu ada nilai-nilai Injili yang terus-menerus dihayati dan diteruskan
dari waktu ke waktu dalam rupa tradisi. Keyakinan umat pada zaman tertentu
diajarkan dan diteruskan pada umat pada zaman berikutnya. Tak terasa, Gereja
sudah meneruskan keyakinan iman itu lebih selama dua puluh abad dan akan terus
melanjutkannya.
Kita boleh bertanya, apakah nilai-nilai Injili, ajaran iman dan tradisi Gereja memang diteruskan saat ini? Kita bersyukur akan hal baik yang sudah kita lakukan. Namun, kita menghadapi banyak tantangan. Apakah keluarga di Jakarta masih menjadi tempat penerusan iman? Sejauh manakah anak-anak muda terbuka bagi pengajaran iman, sementara setiap saat mereka dibanjiri informasi dari televisi, internet dan perangkat komunikasi modern mereka? Semuanya ini adalah tantangan sekaligus kesempatan agar kita sungguh-sungguh mampu merumuskan cara dan bentuk baru yang cocok untuk pewartaan Injil.
Mengapa kita perlu melibatkan diri dalam berbagai permasalahan sosial?
Yang mendasari adalah inkarnasi, peristiwa Allah
yang menjadi manusia dalam diri Yesus. Melihat carut-marut dosa di dunia, Allah
tidak tinggal diam di surga. Ia menjelma dalam Allah Putra mewujudkan
kesetiakawanan dengan umat manusia di dunia. Gereja diutus untuk mengikuti
Yesus, Sang “Jalan, Kebenaran dan Hidup” (Yoh 14:6). Kita tidak berada terpisah
dari dunia, melainkan menjadikan segala sesuatu di yang terjadi dunia sebagai
keprihatinan kita. Lewat keterlibatan dalam pelbagai permasalahan hidup bersama
inilah, kita menapaki jalan keselamatannya. “Kegembiraan dan Harapan, duka dan
kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang
menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid
Kristus juga.” (Gaudium et Spes, art. 1).
Mengapa memilih isu kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup dan intoleransi dalam hidup bersama?
Pilihan tiga isu, yakni kemiskinan, kerusakan
lingkungan hidup dan intoleransi tidak muncul tiba-tiba. Dalam proses perumusan
Arah Dasar, beberapa narasumber dan buku-buku acuan memberi rekomendasi untuk
memprioritaskan perhatian pada tiga isu tadi. Kita bisa merasakannya dari
dekat: banyak orang miskin di sekitar kita yang sulit memenuhi kebutuhan makan
dan menyekolahkan anak; banjir sering datang saat hujan lebat, sementara
sungai kotor tidak cukup menampung curahan air; perbedaan agama dan suku
beberapa kali memicu konflik. Kita tidak selalu siap mengatasi masalah yang
pelik itu, namun kita tidak tinggal diam. Maka pada masa Aksi Puasa Pembangunan,
kita mengambil suatu sikap dasar “Mari Berbagi”. Itulah sikap dasar kita,
sehingga ketiga isu itu tidak menjadi masalah mereka, tetapi juga menjadi
masalah dan keprihatinan kita. Dua habitus yang terus-menerus kita perjuangkan,
terkait para pekerja rumahtangga dan buruh (yang kita sapa bukan sebagai
penjual tenaga kerja, namun sebagai sesama) serta lingkungan hidup (terutama
lewat isu “sampah”) adalah ungkapan bahwa kita mau sungguh terlibat pada isu
tadi. Cara kerja inklusif, melibatkan komunitas agama lain, memberi kesaksian
mengenai komunitas yang cinta persaudaraan.
Mengapa perlu tata pelayanan pastoral berbasis data?
Agar pelayanan pastoral terselenggara semakin
baik dan bisa dipertanggungjawabkan, dibutuhkan data. Data yang terkumpul pada
gilirannya memberikan informasi yang dibutuhkan untuk merumuskan kebijakan.
Pelayanan pastoral yang baik harus direncanakan berdasarkan data-data pastoral.
Naluri, keprihatinan pribadi dan penerawangan sungguh tidak memadai untuk
dijadikan dasar keputusan. Data-data pastoral mencakup kondisi umat secara
umum, kebutuhan-kebutuhan pastoralnya (umat membutuhkan pelayanan apa saja dan
bagaimana sebaiknya pelayanan itu dilaksanakan secara efektif), maupun
data-data lingkungan di sekitar umat (kehidupan sosial masyarakat,
tantangan-tantangan dan permasalahan yang dihadapi). Dengan mempertimbangkan
data-data tersebut, program-program pastoral bisa direncanakan dengan tepat
sehingga pelaksanaanya pun membawa dampak positif bagi perkembangan umat.
Sebaliknya, tanpa didasari data-data yang bisa dipertanggungjawabkan, program
pastoral cenderung direncanakan berdasarkan pertimbangan pribadi,
minat/kesukaan, asumsi-asumsi pelayan pastoral, yang bisa tidak sesuai dengan
kondisi umat yang hendak dilayani. Akibatnya, Gereja menawarkan banyak kegiatan
tapi tidak menjawab permasalahan dasar umat secara tepat, bahkan bisa jadi
tidak membawa perubahan semakin baik.
Mengapa perlu memberdayakan komunitas Lingkungan dan komunitas kategorial?
Kalau kita melihat Gereja sebagai paguyuban dari
komunitas-komunitas, maka Lingkungan (teritorial) dan komunitas kategorial
(yang berkumpul karena kategori atau fungsi yang sama) adalah yang
pembentuknya. Gereja menjadi kuat karena pembentuknya yang berada di basis
kehidupan sehari-hari ini juga kuat. Pemahaman ini dituangkan dalam Arah Dasar
terdahulu dengan ungkapan “pemberdayaan umat basis”. Gereja paroki menjadi kuat
karena warga-warganya yang tinggal berdekatan di Lingkungan meneguhkan iman
mereka dalam pertemuan doa, penuh persaudaraan dan pelayanan antar mereka
sendiri dan antar sesama warga se-RT dan se-RW. Saudara yang dekat adalah
tetangga, kata peribahasa. Nah, komunitas yang hidup berdekatan dan berkumpul
di Lingkungan ini selalu perlu diberdayakan, sehingga cita-cita umat basis (yang
teguh imannya akan Kristus, yang memiliki persaudaraan sejati dan yang
mewujudkan pelayanan kasih) bisa semakin tercapai. Spiritualitas Gembala Baik
dan pelayanan yang murah hati pertama-tama perlu dihayati dalam
komunitas-komunitas ini dengan kepekaan untuk memperhatikan peristiwa-peristiwa
keluarga (kelahiran, perkawinan, kematian) yang bisa dipakai sebagai pintu
masuk persaudaraan dan pelayanan.
Apa yang dimaksud dengan karya pastoral yang kontekstual?
Setiap hal yang dilakukan Gereja dalam rangka
penggembalaan umat perlu mempertimbangkan konteks nyata kehidupan. Ada dua hal yang perlu
dipertimbangkan agar karya pastoral bersifat kontekstual. Yang pertama, adalah
kesetiaan Gereja terhadap Kristus yang dihayati lewat ungkapan-ungkapan seperti
ibadat, pengajaran dan penerimaan sakramen. Yang kedua adalah konteks kehidupan
yang selalu berkembang dan berubah, yang sungguh perlu dijadikan konteks bagi
yang pertama tadi. Gereja berada di tempat dan waktu tertentu dengan segala
kekhasan dan permasalahannya. Kalau yang kedua ini sungguh-sungguh
diperhatikan, maka yang pertama tadi, akan memberi relevansi dan signifikansi
pada kehidupan nyata. Dibutuhkan kepekaan untuk mencermati “tanda-tanda zaman”,
berdasarkan data, dengan assesment, dengan angket dan studi, agar karya-karya
Gereja sungguh-sungguh makin melayani kebutuhan nyata umat dan masyarakat.
Mengapa kerasulan awam mendapat perhatian khusus?
Di KAJ, para imam, bruder dan suster berjumlah
sekitar 1500, sementara jumlah umat sekitar 465 ribu. Dari perbandingan kasar
ini bisa disimpulkan bahwa Gereja KAJ terdiri dari mayoritas kaum awam. Dengan
demikian, keterlibatan Gereja dalam penanggulangan kemiskinan, pemeliharaan dan
pembenahan lingkungan hidup, pelayanan kesehatan, peningkatan toleransi amat
ditentukan oleh gerak para awam yang ingin merasul dalam setiap pekerjaan dan
keterlibatan mereka. Kerasulan awam ini menjadi hal yang tidak boleh tidak
niscaya dikembangkan sehingga mereka menyumbangkan kebaikan bagi Gereja dan
masyarakat.
Apa yang dimaksud dengan kaderisasi dan pendampingan pelayan pastoral?
Kita menginginkan bahwa Gereja berlangsung
sepanjang zaman. Namun dalam kenyataan, kita rasakan beberapa kesulitan dan
tantangan. Menemukan pengurus Lingkungan dan pengurus komunitas tidak gampang.
Mengajak orang muda untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan Gereja, bukan soal
sederhana. Menyemangati orang Katolik agar tampil sebagai rasul dalam bidang
sosial, ekonomi, budaya dan politik, bukan hal mudah. Maka kita bersyukur bahwa
kendati tidak gampang, toh selalu ada orang yang merelakan diri. Oleh karena
itu kaderisasi dan pendampingan diperlukan, demi kepentingan Gereja di masa
depan, untuk tujuan-tujuan yang membuat Gereja makin siap menanggapi tantangan
setiap zaman.
Dalam kenyataannya, pelayanan dan penggerakan ratusan ribu umat Katolik KAJ amat dipengaruhi oleh partisipasi, aktifitas dan motivasi dari para pelayan pastoral yang jumlahnya ribuan saja. Selama ini ditengarai bahwa di banyak tempat, para awam pelayan pastoral adalah ‘itu-itu saja’. Pendampingan para pelayan pastoral amatlah penting dalam rangka tetap menjaga bara semangat dan ketahanan spiritualitas mereka. Kaderisasi jelas diperlukan, untuk menjaga kelangsungan dinamika Gereja KAJ dari tahun ke tahun.
0 komentar:
Post a Comment